Kamis, 09 Oktober 2008

POLIGAMI DITINJAU DARI HUKUM PERKAWINAN INDONESIA

POLIGAMI DITINJAU DARI HUKUM PERKAWINAN INDONESIA
Oleh : Lailatul Mardhiyah, SH ª



Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami.
Kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali. Hal ini dapatlah dilihat dari kenyataan walaupun suami tersebut mampu dalam segi materi tetapi belum mampu dalam segi moril-spirituil dalam mewujudkan keadilan terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan sikap suatu tindakan. Akan tetapi permasalahannya juga sering timbul dan tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.
A. Hukum Perkawinan Indonesia Mengenal Asas Monogami Tidak Mutlak
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”Akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama ( Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam PP No. 10/1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
B. Hukum Perkawinan Indonesia Tidak mengenal Polyandri
Perkawinan poligami didalam masyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang istri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja. Dan ini bisa juga karena seorang istri atau seorang perempuan itu lebih mengandalkan perasaannya dan dengan pertimbangan akan adanya anak juga. Didalam Al Qur’an poliandri tidak diperbolehkan, hal ini diatur dalam surat An Nisa ayat 24.
Hikmah perkawinan poliandri dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang-Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang suami.
C. Syarat-syarat dan Proses Pengajuan Ijin Poligami di Indonesia melalui Pengadilan Agama
Poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. ( Drs. H.A. Mukti Arto, S.H., Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003 )
Untuk Pegawai negeri Sipil (PNS) diatur pula persyaratan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan bahwa untuk memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP Nomor 10 tahun 1983. Seorang pegawai negeri sipil yang akan melakukan poligami harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Syarat-syarat komulatif itu antara lain :
1. Adanya persetujuan tertulis dari istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.
Dalam pasal 1 ayat 1 PP Nomor 10 tahun 1983 bahwa pegawai negeri sipil yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari pejabat dimana dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 tadi harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan untuk beristri lebih dari seorang. Permintaan ijin itu harus diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Dalam hal ini setiap alasan yang menerima permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya untuk melakukan poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskan kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Dalam PP Nomor 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan memberikan ijin apabila ternyata :
1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif .
3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang dengan melihat apakah hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan memperlihatkan ketentuan undang-undang yang berlaku serta memperhatikan kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.
D. Beberapa permasalahan terkait dengan poligami
Berbicara mengenai perkawinan poligami, yang tentu saja dilakukan oleh seorang suami ini, ada beberapa contoh kasus yang dapat diambil dimana jika diamati banyak sekali terjadi di sekitar lingkungan kita.
Contoh kasus yang terjadi : Apabila ada seorang suami yang mempunyai keinginan untuk melakukan poligami tetapi suami ini tidak mendapatkan persetujuan dari istrinya untuk melaksanakan perkawinan poligami, sedangkan si perempuan yaitu calon istri dari suami ini sudah terlanjur berbadan dua atau dengan kata lain si perempuan ini sudah dalam keadaan hamil dan hanya tinggal menunggu tanggal kelahirannya saja. Kemudian dari kasus ini akan timbul pertanyaan, Bagaimana tindakan selanjutnya yang harus diambil jika si istri yang syah tetap tidak mau memberikan persetujuan perkawinan poligami yang akan dilakukan oleh suaminya ?
Seorang suami jika dia akan melakukan perkawinan poligami pada dasarnya tetap harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan telah ditentukan didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, dimana salah satu syarat yang utama yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari istri. Persetujuan inipun seperti telah dikemukakan diawal yaitu ada persetujuan tertulis dan persetujuan secara lisan yang akan didengar oleh hakim pada saat sidang pengadilan berlangsung. Jadi jika dilihat dari kacamat hokum positif, sorang suami ini tetap tidak bisa melaksanakan perkawinan poligami seperti yang diinginkannya tanpa adanya persetujuan dari istri.
Sedangkan apabila dilihat dari segi hukum Islam, seorang suami ini dapat melakukan perkawinan dibawah tangan atau kawin siri, meskipun banyak ulama yang saling berbeda pendapat . Maksudnya disini adalah ada sebagian ulama yang menentang adanya perkawinan ini jika si perempuan dalam keadaan berbadan dua, tetapi tidak sedikit juga ada sebagian ulama yang tidak mengharamkan artinya ada sebagian ulama yang membolehkan seorang suami mengawini perempuan yang sedang hamil dengan alasan untuk menjaga kemaslahatan si anak yang dikandung ini dikemudian hari.
Tetapi dengan melakukan perkawinan siri tersebut juga ada hal-hal yang harus diingat dan diperhatikan oleh seorang perempuan. Dikarenakan apa ? Jika seorang perempuan tersebut telah melakukan kawin siri atau perkawinan di bawah tangan maka si perempuan juga harus siap dengan segala akibat dan konsekwensi yang ditimbulkannya. Akibat dan konsekwensi tersebut adalah tidak mendapatkannya si perempuan beserta anak yang dikandung dan dilahirkannya itu harta warisan dari suaminya, dan si anak ini hanya akan mewaris dari ibunya saja.Karena ini adalah perkawinan dibawah tangan atau kawin siri dan tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama setempat.
Berbeda memang jika perkawinan poligami ini dicatatkan, tetapi sepanjang istri yang pertama tidak atau istri yang syah tidak memberikan persetujuannya maka perkawinan itu sampai kapanpun tetap tidak bisa dicatatkan dan atau dilegalkan oleh hokum positif. Dan ini dikemudian hari imbasnya akan keanak juga setelah anak tersebut dilahirkan. Akibat yang ditimbulkan pada tatanan anak tersebut akan membuat akta kelahiran, baik itu untuk keperluan mendaftarkan kesekolah maupun untuk keperluan yang lain. Sedangkan dalam pembuatan akta kelahiran itu sendiri diperlukan akta nikah dari kedua orang tuanya, supaya nanti ada kejelasan mengenai identitas orang tua anak itu juga. Apalagi jika didalam akta kelahiran nanti identitas orang tua tersebut berbeda, maksudnya jika identitas orang tua yang tercantum didalam akta kelahiran tersebut tidak sesuai dengan identitas orang tua kandung anak tersebut, ini tentu akan menimbulkan permasalahan yang baru lagi. Bisa permasalahan itu muncul ketika si anak akan melanjutakan sekolah yang lebih tinggi, yang sangat memerlukan adanya Surat Tanda Tamat Belajar atau sering disebut juga dengan ijazah, yang dalam ijazah tercantum identitas orang tua kandungnya. Jadi begitu pentingnya akta kelahiran ini bagi anak yang akan dilahirkannya maka sebuah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan harus dicatatkan dan harus melalui prosedur yang diberlakukan dan telah diatu di dalm hokum positif kita.
Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat sekitar kita yang berkaitan serat berhubungan dengan perkawinan poligami ini. Kemarin ada satu pernyataan atau statemen dari seorang laki-laki yang harus kita jawab dan kita berikan pendapatnya, pernyataanya begini sekarang ini kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki atau kaum adam, kemudian jika kaum laki-laki ini ingin melakukan perkawinan poligami dengan alasan ini dilakukan juga untuk melindungi istri, dilakukan untuk menyambung hidup atau untuk meningkatkan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, ini bagaimana ? meskipun pada dasarnya setiap perempuan atau setiap istri tidak mau dimadu, atau bisa dikatakan ini untuk kemaslahatan.
Untuk permasalahan yang seperti ini jika ditujukan ke kaum perempuan tentu si perempuan banyak yang tidak menyetujuinya dan ini sangat-sangat menguntungkan kaum laki-laki tentunya. Tetapi kita tidak boleh asal dalam menjawab suatu pertanyaan. Jadi begini misalkan seorang suami akan melakukan perkawinan poligami tetap saja suami tersebut harus mempunyai persetujuan dari istri, dengan alas an apapun, tetapi jika untuk alas an-alasan diatas si istri bisa menerima dan memeberikan sebuah persetujuan maka si suami ini kan dapat melangsungkan perkawinan poligaminya, dan jika si istri untuk alas an-alasan-alasan diatas tetap tidak mau menerima dan tidak bisa menyetujuinya maka si suami juga harus sadar diri untuk tidak melakukan hal tersebut, dalam hal ini jika si suami tetap melakukannya maka akibat yang akan ditanggung dengan segala konsekwensinya akan sama sperti yang telah dikemukakan diatas tadi. Perkawinan tersebut tidak syah dan tidak diakui oleh hukum positif yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Dari kasus-kasus yang banyak terjadi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila seorang suami akan melakukan perkawinan poligami, suami tersebut harus harus memikirkan lebih jauh lagi apakah syarat-syarat yang sudah ditentukan dan telah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sudah terpenuhi atau sudah terlengkapi belum. Seandainya belum lengkap maka seorang suami tersebut harus mempertimbangkannya sekali lagi.
Masalah pokoknya atau hal yang paling utama nanti adalah Pengadilan bisa tidak dalam memberikan ijin berpoligami tersebut karena disini yang paling berkompeten dalam memberika ijin untuk melangsungkan perkawinan poligami adalah Pengadilan. Jadi pertimbangkan sekali lagi segala akibat yang bisa ditimbulkan apabila salah dalam melangkah dan salah dalam mengambil keputusan setiap tindakan yang dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

Ø H. Abdurrahman, S.H. M. H., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992
Ø Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Ø Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Ø Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983, Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Yayasan Binadhika Jakarta, 1991


ª Adalah Pembela Umum/ Konsultan Hukum pada LKBH FH UII Yogyakarta
Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Nama Baik
Bagi Korban Salah Tangkap dalam KUHAP
Oleh : Veronika Oxtafia, SH & Yudistari, SH
I. Ganti Kerugian
A. Pengertian Ganti Kerugian
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (pasal 1 butir 22 KUHAP).
Ganti kerugian ini tidak hanya dihubungkan dengan pasal 1 butir ke 22 KUHAP saja, tetapi juga dihubungkan dengan pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga meliputi tindakan lain seperti kerugian yang ditimbulkan karena pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan yang lebh lama daripada pidana yang dijatuhkan (Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP). Selain itu Ganti Kerugian dapat juga dimintakan jika terjadi penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP)

B. Unsur-Unsur Ganti Kerugian
1. adanya kerugian yang diakibatkan oleh :
- tindakan penangkapan yang tidak sah
- tindakan penahanan yang tidak sah
- pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum
- penggeledahan yang tidak sah menurut hukum
- penyitaan yang tidak sah menurut hukum
- penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak sah menurut hukum
- dituntut atau diadili tana alasan yang bedasarkan Undang-undang

C. Pihak-pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian
1. tersangka, keluarga atau kuasa hukum (Pasal 79 KUHAP)
2. ahli waris dari tersangka
3. pihak ketiga yang berkepentingan

D. Tata Cara Mengajukan Tuntutan Ganti Kerugian
Kewenangan memeriksa /mengadili dan memutus tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh hakim sidang praperadilan atau hakim pada sidang pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Dalam memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pasal 95 ayat (1) KUHAP, Ketua pengadilan negeri sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang pernah mengadili perkara pidana yang bersangkutan (pasal 95 ayat (4) KUHAP), namun pemeriksaanya masih menurut tata cara pemeriksaan dalam sidang praperadilan. Ketentuan ini kemudian banyak menimbulkan kebingungan dan dalam praktik hukum tidak jarang menimbulkan kekeliruan hukum.
Tuntutan ganti kerugian yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana yang penanganannya tidak dilanjutkan/dilimpahkan ke sidang pengadilan, karena dilakukan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, pemeriksaanya dilakukan oleh hakim praperadilan.
Jangka waktu untuk melakukan tuntutan ganti kerugian sahnya penghentian penyidikan atau akibat sahnya penghentian penuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan mengenai penetapan praperadilan (Pasal 7 ayat (2) PP No. 27 tahun 1983). Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak melalui putusan praperadilan adalah sah jika tidak ada perlawanan dari pihak penyidik/penuntut umum atau pihak ketiga. Untuk hal ini jangka waktu melakukan ganti rugi adalah 3 (tiga) bulan semenjak diterimanya putusan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

E. Jumlah dan Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian
Menurut PP No. 27 Tahun 1983 BAB IV ditetapkan besarnya jumlah uang ganti kerugian bedasarkan alasan Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah serendah-rendahnya Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) atau setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Jika penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mengakibatkan yang bersangkutan menderita sakit atau cacat sehinga tidak bisa melakukan pekerjaan atau mati, maka besarnya ganti kerugian sebesar-besarnya berjumlah Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Jika dilihat dari besarnya ganti rugi yang diberikan, dapat dilihat bahwa ganti rugi tersebut tidak dapat mewakili penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Dalam mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan pada bagian penuntutan (petitum) pada umumnya para pemohon selalu mencantumkan besarnya jumlah uang ganti kerugian dan rehabilitasi. Maka atas dasar itu apabila permohonan praperadilan diterima/dikabulkan, maka dalam putusan/penetapan hakim praperadilan dicantumkan besarnya jumlah uang ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 82 ayat (3) huruf c dan ayat (4)KUHAP). Petikan penetapan mengenai pemberian uang ganti kerugian diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diucapkan oleh hakim praperadilan. Salinan penetapan tersebut kemudian diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat Jendral Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) setempat.
II. Rehabilitasi

A. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang bedasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 23 KUHAP). Menurut pasal 68 jo 97 KUHAP, rehabilitasi merupakan hak tersangka atau terdakwa.

B. Pihak yang dapat mengajukan permohonan Rehabilitasi
Dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi hanya tersangka saja. Namun dalam Peraturan Pemerintah No.27/1983 Pasal 12 yang merupakan penjabaran dari Pasal 97 ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi selain tersangka disebutkan juga keluarga atau kuasanya. Untuk pengajuan rehabilitasi karena tidak sahnya penangkapan dan atau tidak sahnya penahanan, dan atau karena terjadi kekeliruan mengenai orang (yang dijadikan tersangka) dan atau karena terjadi kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.

C. Pemberian Rehabilitasi
Dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP apabila seorang yang diadili oleh pengadilan diputus bebas (vijspraak) atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtvervolging) maka kepada ”harus” diberikan rehablitasi yang secara ”sekaligus” dicantumkan dalam putusan pengadilan (vonis/verdict). Dengan demikian pemberian rehabilitasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP. Ketentuan ini adalah bersifat imperatif sehingga harus dilaksanakan. Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dengan penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf d mengenai penjabaran asas-asas yang telah diletakkan dalam UU kekuasaan kehakiman. Putusan atau penetapan rehabilitasi kemudian dimumukan oleh panitera dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan (Pasal 15 PP NO. 27/1983).